Thursday, May 12, 2016

Sebuah Ketulusan



Alkisah di sebuah rumah mewah yang terletak dipinggiran sebuah kota, hiduplah sepasang suami istri. Dari sekilas orang yang memandang, mereka adalah pasangan yang sangat harmonis. Para tetangganya pun tahu bagaimana usaha mereka dalam meraih kehidupan mapan yang seperti saat ini. Sayang, pasangan itu belum lengkap. Dalam kurun waktu sepuluh tahun pernikahan mereka, pasangan itu belum juga dikaruniai seorang anak pun yang mereka harapkan.

Karenanya walaupun masih saling mencinta, si suami berkeinginan menceraikan istrinya karena dianggap tak mampu memberikan keturunan sebagai penerus generasinya. Setelah melalui perdebatan sengit, dengan sedih dan duka yang mendalam, si istri akhirnya menyerah pada keputusan suaminya untuk tetap bercerai.

Dengan perasaan tidak menentu, suami istri itu menyampaikan rencana perceraian kepada orang tua mereka. Meskipun orang tua mereka tidak setuju, tapi tampaknya keputusan bulat sudah diambil si suami. Setelah berbincang-bincang cukup lama dan alot, kedua orang tua pasangan itu dengan berat hati menyetujui perceraian tersebut. Tetapi, mereka mengajukan syarat, yakni agar perceraian pasangan suami istri itu diselenggarakan dalam sebuah sebuah pesta yang sama besarnya seperti pesta saat mereka menikah dulu.

Agar tidak mengecewakan kedua orang tuanya, maka persyaratan mengadakan pesta perceraian itu pun disetujui. Beberapa hari kemudian, pesta diselenggarakan. Sungguh, itu merupakan pesta yang tidak membahagiakan bagi siapa saja yang hadir dalam pesta itu. Si suami tampak tertekan dan terus meminum arak sampai mabuk dan sempoyongan. Sementara sang istri tampak terus melamun dan sesekali mengusap air matanya di pipinya. Di sela mabuknya si suami berkata lantang, “Istriku, saat kau pergi nanti. semua barang berharga atau apapun yang kamu suka dan kamu sayangi, Ambillah dan Bawalah !!“. Setelah berkata seperti itu, tak lama kemudian ia semakin mabuk dan akhirnya tak sadarkan diri.

Keesokan harinya, setelah pesta usai, si suami terbangun dari tidur dengan kepala berdenyut-denyut. Dia merasa tidak mengenali keadaan disekelilingnya selain sosok yang sudah dikenalnya bertahun-tahun yaitu sang istri yang ia cintai. Maka, dia pun bertanya “Ada dimakah aku ? Kenapa ini bukan di kamar kita ? Apakah aku masih mabuk dan bermimpi ? tolong jelaskan.”

Si istri menatap penuh cinta pada suaminya dengan mata berkaca-kaca dan menjawab, “Suamiku, ini karena dirumah orang tuaku. Kemaren kau bilang didepan semua orang bahwa engkau berkata kepadaku, bahwa aku boleh membawa apa saja yang aku mau dan aku sayangi. Di dunia ini tidak ada satu barang yang berharga dan aku cintai dengan sepenuh hati selain kamu. karena itu kamu sekarang kubawa serta ke rumah orang tuaku. Ingat, kamu sudah berjanji dalam pesta itu.”

Dengan perasaan terkejut setelah sesaat tersadar, si suami bangun dan memeluk istrinya, “Maafkan aku Istriku, aku sungguh bodoh dan tidak menyadari bahwa dalamnya cintamu padaku. Walaupun aku telah menyakitimu, dan berniat menceraikanmu, tetapi engkau masih mau membawa serta diriku bersamamu dalam keadaan apapun“.

~Cerita Motivasi Islami~

Wednesday, May 11, 2016

Cerita Idul Adha



Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan Qurban. Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku, dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan. Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali anak-anak yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan di-Qurban-kan pada Idul Adha nanti, sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini tentang pengorbanan Nabi Allah Ibrahim & Nabi Ismail.

Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti. Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang, ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.

” Berapa harga kambing yang itu pak?” ujarku menunjuk kambing coklat tersebut.
” Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah tidak kurang” kata si pedagang berpromosi matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.

” Tidak bisa turun pak?” kataku mencoba bernegosiasi.
” Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal” si pedagang bertahan.
” Satu juta lima ratus ribu ya?” aku melakukan penawaran pertama
” Maaf pak, masih jauh. ” ujarnya cuek.

Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya.

” Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu?” kataku
” Masih belum nutup pak ” ujarnya tetap cuek
” Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?” ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.

” Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa datang ke sini sendiri.

Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput” kata si pedagang meledek.

Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga selain yang sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus ribu. Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang harganya kini selangit.

” Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?” kataku kemudian
” Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah” katanya

Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun pakaian “korpri” yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.

” Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?” katanya kagum
” Dua juta tidak kurang tidak lebih kek. ” kata si pedagang setengah malas menjawab setelah melihat penampilan si kakek.

” Weleh larang men regane (mahal benar harganya)?” kata si kakek dalam bahasa Purwokertoan ” bisa di tawar-kan ya mas?” lanjutnya mencoba negosiasi juga.

” Cari kambing yang lain aja kek. ” si pedagang terlihat semakin malas meladeni.
” Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing apik lan gagah Qurban taun iki (Aku mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini)

Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk) mbayar koq mas. ” katanya tetap bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di bukanya, enam belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh ribuan dikeluarkan dari dalamnya.

” Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse (kambingnya) dianter ke rumah ya mas?” lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.

Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya sejak tadi. Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima uang yang disodorkan si kakek, kemudian di hitungnya perlahan lembar demi lembar uang itu.

” Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah” si pedagang mengeluarkan selembar lima puluh ribuan
” Ora ono ongkos kirime tho…?” (Enggak ada ongkos kirimnya ya?) si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih
” Dua juta sudah termasuk ongkos kirim” si pedagang yang cukup jujur memberikan lima puluh ribu ke kakek ” mau di antar ke mana mbah?” (tiba-tiba panggilan kakek berubah menjadi mbah)

“Alhamdulillah, lewih (lebih) lima puluh ribu iso di tabung neh (bisa ditabung lagi)” kata si kakek sambil menerimanya ” tulung anterke ning deso cedak kono yo (tolong antar ke desa dekat itu ya), sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid Baiturrohman, takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo pensiunan pegawe Pemda Pasir Mukti, InsyaAllah bocah-bocah podo ngerti (InsyaAllah anak-anak sudah tahu). “

Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah disepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang disandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari mobil milikku. Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap dikayuhnya tetap dengan semangat. Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku. Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol, sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya. Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek. Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan.

Yang pasti secara materi, sangatlah jauh di banding penghasilanku yang sanggup membeli rumah dikawasan cukup bergengsi,  yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga ban-nya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super,  yang sanggup mempunyai hobby berkendara moge (motor gede) dan memilikinya Yang sanggup mengkoleksi “raket” hanya untuk olah-raga seminggu sekali, Yang sanggup juga membeli hewan Qurban dua ekor sapi sekaligus. Tapi apa yang aku pikirkan? Aku hanya hendak membeli hewan Qurban yang jauh di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service rutin mobilku, kendaraanku di dunia fana.

Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya. Ya Allah, Engkau yang Maha Membolak-balikan hati manusia balikkan hati hambaMu yang tak pernah berSyukur ini ke arah orang yang pandai menSyukuri nikmat-Mu.

~Cerita Motivasi Islam~

Bai Fang Li



Namanya BAI FANG LI, orang miskin yang pekerjaannya adalah tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.

Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Bai Fang Li melalang di jalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.

Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.

Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana Bai Fang Li biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, di ruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, di ruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Di pojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.

Bai Fang Li tinggal sendirian di gubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.

Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat di pundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar di mukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu bergumam, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ke tempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu ke mulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.

Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.

“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya….,” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana…?” tanya Bai Fang Li.
“Saya tidak tahu…., ayah ibu saya pemulung…. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil…,” sahut anak itu.

Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.

Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.

Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam 8 malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan membeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmm… tapi masih cukup bagus… gumamnya senang.

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, di tengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.

“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan….,” katanya dengan sendu.

Semua guru di sekolah itu menangis….

Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta rupiah, jika tidak salah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.

Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan ”Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa”.

~cerita Motivasi Islami~

Baju Baru Ayah



Kadang saya merasa malu, ketika teman - teman datang ke rumah. Bukan karena keluarga saya hidup sederhana tapi karena penampilan ayah yang selalu seadanya. Pakaiannya tidak pernah rapi, bajunya hanya itu-itu saja. Ketika saya mengusulkan ayah untuk membeli baju baru, ia hanya tertawa. ”Yang penting kan bersih,” kata ayah. Memang betul sih, tetapi saya sebagai anak tunggalnya kan merasa risih dan malu. Bagaimanapun saya ingin ayah tampil wajar, tidak seperti orang yang tidak mampu membeli pakaian.

Tapi ayah tidak peduli. Keinginan saya baru terkabul ketika ibu meninggal. entah dengan alasan apa, tiba - tiba ayah membeli baju baru yang cukup mahal dan mewah. Mungkin yang heran bukan hanya saya, tetapi juga para pelayat.

”Untuk menghormati ibumu,” jawab ayah suatu saat. Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa ayah melakukannya ketika ibu sudah tidak ada, bukannya ketika ibu masih hidup.

Jawabannya baru saya temukan ketika beberapa bulan kemudian. Ketika saya tengah berjalan - jalan dan melihat pakaian seperti yang dikenakan ayah, dipajang di sebuah toko. Tanpa berpikir panjang, saya masuk ke toko itu.

Berawal dari tanya harga, sayapun berbincang dengan ibu pemilik toko. ”Saya kenal ayahmu sudah sejak lama, Ia memang sering datang kemari untuk melihat pakaian baru, tetapi ia tidak pernah membelinya. Hanya memandang dan memegang. Ketika saya tanyakan kepada ayahmu, mangapa ia tidak membeli pakaian yang diinginkannya, Jawabnya, karena kamu masih membutuhkan biaya untuk keperluan lain, termasuk membeli pakaian yang kamu kenakan sekarang ini.”

Mendengari itu, sayapun menangis terharu. Ternyata ayah lebih mementingkan keperluan anaknya daripada kepentingannya sendiri. Saya sungguh merasa berdosa karena sering menganggap ayah pelit.

Kemudian ibu pemilik toko berkata, ”Biar begitu, ayahmu selama ini merasa selalu berpakaian indah. Itulah ungkapan kebahagiaan, karena bisa membesarkan dan memberimu sesuatu yang lebih.”

Saya sungguh terharu, dalam hati saya menyesal karena tidak bisa membaca pengorbanan ayah selama ini.

~Cerita Motivasi Islami~

Pencuri Pepaya



Suatu sore, ia mendapati pohon pepaya di depan rumahnya telah berbuah. Walaupun hanya dua buah namun telah menguning dan siap dipanen. Ia berencana memetik buah itu di keesokan hari. Namun, tatkala pagi tiba, ia mendapati satu buah pepayanya hilang dicuri orang.
Kakek itu begitu bersedih, hingga istrinya merasa heran. “masak hanya karena sebuah pepaya saja engkau demikian murung” ujar sang istri.

“bukan itu yang aku sedihkan” jawab sang kakek, “aku kepikiran, betapa sulitnya orang itu mengambil pepaya kita. Ia harus sembunyi-sembunyi di tengah malam agar tidak ketahuan orang. Belum lagi mesti memanjatnya dengan susah payah untuk bisa memetiknya..”

“dari itu Bune” lanjut sang kakek, “saya akan pinjam tangga dan saya taruh di bawah pohon pepaya kita, mudah-mudahan ia datang kembali malam ini dan tidak akan kesulitan lagi mengambil yang satunya”.
Namun saat pagi kembali hadir, ia mendapati pepaya yang tinggal sebuah itu tetap ada beserta tangganya tanpa bergeser sedikitpun. Ia mencoba bersabar, dan berharap pencuri itu akan muncul lagi di malam ini. Namun di pagi berikutnya, tetap saja buah pepaya itu masih di tempatnya.

Di sore harinya, sang kakek kedatangan seorang tamu yang menenteng duah buah pepaya besar di tangannya. Ia belum pernah mengenal si tamu tersebut. Singkat cerita, setelah berbincang lama, saat hendak pamitan tamu itu dengan amat menyesal mengaku bahwa ialah yang telah mencuri pepayanya.

“Sebenarnya” kata sang tamu, “di malam berikutnya saya ingin mencuri buah pepaya yang tersisa. Namun saat saya menemukan ada tangga di sana, saya tersadarkan dan sejak itu saya bertekad untuk tidak mencuri lagi. Untuk itu, saya kembalikan pepaya Anda dan untuk menebus kesalahan saya, saya hadiahkan pepaya yang baru saya beli di pasar untuk Anda”.

Hikmah yang bisa diambil dari kisah inspirasi diatas, adalah tentang keikhlasan, kesabaran, kebajikan dan cara pandang positif terhadap kehidupan.

Mampukah kita tetap bersikap positif saat kita kehilangan sesuatu yang kita cintai dengan ikhlas mencari sisi baiknya serta melupakan sakitnya suatu “musibah”?

~Cerita Motivasi Islami~

Tukang Sol Sepatu



Cuaca hari ini sangat sangat panas. Mbah sarno terus mengayuh sepeda tuanya menyisir jalan perumahan condong catur demi menyambung hidup. Mbah sarno sudah puluhan tahun berprofesi sebagai tukang sol sepatu keliling. Jika orang lain mungkin berfikir “mau nonton apa saya malam ini?”, mbah sarno cuma bisa berfikir “saya bisa makan atau nggak malam ini?”

Di tengah cuaca panas seperti ini pun terasa sangat sulit baginya untuk mendapatkan pelanggan. Bagi mbah sarno, setiap hari adalah hari kerja. Dimana ada peluang untuk menghasilkan rupiah, disitu dia akan terus berusaha. Hebatnya, beliau adalah orang yang sangat jujur. Meskipun miskin, tak pernah sekalipun ia mengambil hak orang lain.

Jam 11, saat tiba di depan sebuah rumah mewah di ujung gang, diapun akhirnya mendapat pelanggan pertamanya hari ini. Seorang pemuda usia 20 tahunan, terlihat sangat terburu-buru.

Ketika mbah sarno menampal sepatunya yang bolong, ia terus menerus melihat jam. Karena pekerjaan ini sudah digelutinya bertahun-tahun, dalam waktu singkat pun ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.

“wah cepat sekali. Berapa pak?”

“5000 rupiah mas”

sang pemuda pun mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompetnya. Mbah sarno jelas kaget dan tentu ia tidak punya uang kembalian sama sekali apalagi sang pemuda ini adalah pelanggan pertamanya hari ini.

“wah mas gak ada uang pas ya?”

“nggak ada pak, uang saya tinggal selembar ini, belum dipecah pak”

“maaf mas, saya nggak punya uang kembalian”

“waduh repot juga kalo gitu. Ya sudah saya cari dulu sebentar pak ke warung depan”

“udah mas nggak usah repot-repot. Mas bawa dulu saja. Saya perhatikan mas lagi buru-buru. Lain waktu saja mas kalau kita ketemu lagi.”

“oh syukurlah kalo gitu. Ya sudah makasih ya pak.”

Jam demi jam berlalu dan tampaknya ini hari yang tidak menguntungkan bagi mbah sarno. Dia cuma mendapatkan 1 pelanggan dan itupun belum membayar. Ia terus menanamkan dalam hatinya, “ikhlas. Insya allah akan dapat gantinya.”

ketika waktu menunjukkan pukul 3 lebih ia pun menyempatkan diri shalat ashar di masjid depan lapangan bola sekolah. Selesai shalat ia berdoa.

“ya allah, izinkan aku mencicipi secuil rezekimu hari ini. Hari ini aku akan terus berusaha, selebihnya adalah kehendakmu.”

selesai berdoa panjang, ia pun bangkit untuk melanjutkan pekerjaannya.

Ketika ia akan menuju sepedanya, ia kaget karena pemuda yang tadi siang menjadi pelanggannya telah menunggu di samping sepedanya.

“wah kebetulan kita ketemu disini, pak. Ini bayaran yang tadi siang pak.”

kali ini pemuda tadi tetap mengeluarkan uang seratus ribuan. Tidak hanya selembar, tapi 5 lembar.

“loh loh mas? Ini mas belum mecahin uang ya? Maaf mas saya masih belum punya kembalian. Ini juga kok 5 lembar mas. Ini nggak salah ngambil mas?”

“sudah pak, terima saja. Kembaliannya, sudah saya terima tadi, pak. Hari ini saya tes wawancara. Telat 5 menit saja saya sudah gagal pak. Untung bapak membiarkan saya pergi dulu. Insya allah minggu depan saya berangkat ke prancis pak. Saya mohon doanya pak”

“tapi ini terlalu banyak mas”

“saya bayar sol sepatu cuma rp 5000 pak. Sisanya untuk membayar kesuksesan saya hari ini dan keikhlasan bapak hari ini.”


Tuhan punya cara tersendiri dalam menolong hamba-hambanya yang mau berusaha dalam kesulitannya. Dan kita tidak akan pernah tahu kapan pertolongan itu tiba.

Keikhlasan akan dibalas dengan keindahan.

~Cerita Motivasi Islami~

Penjaga Pintu Tol



Setiap hari sebut saja Pak Ary pergi ke kantor dari rumahnya di bilangan Depok ke daerah Pondok Pinang melewati Pintu tol Jakarta Outer ring road yang sama.

Suatu hari, dimana biasanya para petugas tol hanya melihat jumlah uang kita, mengambilnya, menghitungnya dan mengembalikan uang sisa beserta tanda bukti pembayaran, setelah itu mereka akan melakukan hal yang sama kepada mobil berikutnya.

Teruuuuus seperti itu, kalaupun mereka dimutasi, maka hanya mutasi antar pintu tol, yang tentunya bagi kebanyakan petugas pintu tol tidak memberikan kebahagiaan bagi mereka.

Namun hari itu Pak Ary menemukan seseorang yang betindak berbeda. Ketika Pak Ary menyerahkan uangnya, seorang pria penjaga pintu tol tersebut menyapanya dengan hangat,”Selamat Pagi Pak..” guratan senyum di wajahnya pun mengembang.. mengambil uangnya, menghitungnya, dan mengembalikan sisa uang dan karcis tol seraya berkata “Selamat sampai di tujuan Pak…”. Pak Ary tertegun tak percaya, karena baru kali ini dia merasakan pengalaman tersebut. Sebuah hal kecil yang dilakukan oleh pria tersebut berdampak besar dan telah membuat perasaan Pak Ary Bahagia meluncur di jalan tol menuju kantornya.

Keesokan harinya Pak Ary kembali pergi ke kantor dan kembali melewati pintu tol yang sama. Dan Luar biasanya seorang pria Amazing tersebut masih melakukan hal yang sama seperti kemarin. Dan itu dilakukan kepada semua mobil yang melewati pintu tol tersebut.

Setelah menyelesaikan transaksi tersebut, Pak Ary memparkirkan kendaraannya di tepian tol, dan menghampiri sang pria penjaga tol yang Amazing tadi. Lalu Pak Ary bertanya dengan tulus, “Pak, Apa yang membuat Anda bertindak berbeda dengan para penjaga tol lainnya?”

Jawaban Sang Penjaga tol begitu Amazing, hingga hati saya pun bergetar ketika mendengar cerita Amazing ini. Anda mau tahu apa yang dikatakan oleh Sang Penjaga Tol?

“Saya bukanlah pribadi yang berlatar belakang pendidikan yang tinggi, saya bukan seorang guru yang dengan amalnya bisa membawanya ke Surga. Saya bukan seorang dokter yang dengan profesinya bisa membawanya ke Surga. Saya bukan seorang insiyur yang dengan karyanya bisa membawanya ke Surga.
Saat ini saya tidak memiliki profesi yang “Elit” seperti Anda semua. Namun saya tahu, siapapun yang melewati jalan tol ini, mereka adalah pribadi-pribadi yang sedang terburu-buru pergi menuju kantornya, tempat mereka berjihad dan berjuang, makanya mereka melewati jalan tol ini agar cepat sampai di tujuan. Ketika saya menyapa mereka dan mendoakan mereka agar selamat sampai di tujuan, saya hanya berharap saya juga memiliki andil terhadap kerja dan karya mereka yang akan membawa mereka menuju perjumpaan mulia dengan Tuhannya di Surga. Paling tidak itulah yang bisa saya lakukan. Tuhan tidak menilai dari apa jenis profesi saya, namun Tuhan Melihat,Mendengar, Menilai dari bagaimana saya melakukan kerja profesi saya. Itulah yang insyaAllah akan membuat saya berjumpa Tuhan di Surga-Nya kelak”.

~Cerita Motivasi Islami~

Do'a Penjual Tempe



Di Karangayu, sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah, hiduplah seorang ibu penjual tempe. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang.”Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya…” demikian dia selalu memaknai hidupnya.

Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi, deg! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian.

Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti tidak akan mendapatkan uang untuk makan dan modal membeli kedelai yang akan dia olah kembali menjadi tempe.

Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. “Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku…”

Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya. Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe.

Dan… dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacangnya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang “memproses” doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau maha tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku…

Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan… belum jadi. Kacang itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang tersebut. Keajaiban Tuhan akan datang… pasti, yakinnya.

Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, “tangan” Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa… berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.

Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu. “Pasti sekarang telah jadi tempe!” batinnya.

Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan… dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi. Kecewa, air mata menitik di keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.

Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu.

Dan dia tiba-tiba merasa lapar…merasa sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku,
batinnya. Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan… esok dia pun tak akan dapat makan.

Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan “teman-temannya” sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya mulai memuncak.

Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat…

Tiba-tiba sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya. Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya? Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat.

Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menengadahkan tangan. Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe…

Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe…

Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi? tanya perempuan itu lagi. Kepanikan melandanya lagi. “Duh Gusti… bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?” ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat, pembaca?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi!

“Alhamdulillah!” pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?”

Ooh, bukan begitu, Bu. Anak saya yang kuliah di Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu?

Kisah yang biasa bukan, dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa dan “memaksakan” Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa. Padahal Allah paling tahu apa yang paling cocok untuk kita. Bahwa semua rencananya adalah sangat sempurna.

Kisah sederhana yang menarik, karena seringkali kita pun mengalami hal yg serupa. Di saat kita tidak memahami ada hikmah di balik semua skenario yg Allah SWT takdirkan.

~Cerita Motivasi Islami~

Ada Kasih di Matamu



Sore itu adalah sore yang sangat dingin di Virginia bagian utara, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Janggut si orang tua dilapisi es musim dingin selagi ia menunggu tumpangan menyeberangi sungai. Penantiannya seakan tak berakhir. Tubuhnya menjadi mati rasa dan kaku akibat angin utara yang dingin.

Samar-samar ia mendengar irama teratur hentakan kaki kuda yang berlari mendekat di atas jalan yang beku itu. Dengan gelisah ia mengawasi beberapa penunggang kuda memutari tikungan. Ia membiarkan kuda yang pertama lewat, tanpa berusaha untuk menarik perhatian. Lalu, satu lagi lewat, dan satu lagi. Akhirnya, penunggang kuda yang terakhir mendekati tempat si orang tua yang duduk seperti patung salju. Saat yang satu ini mendekat, si orang tua menangkap mata si penunggang, dan berkata, ”Pak, maukah anda memberikan tumpangan pada orang tua ini ke seberang? Kelihatannya tak ada jalan untuk berjalan kaki.”

Sambil menghentikan kudanya, si penunggang menjawab, ”Tentu. Naiklah.”

Melihat si orang tua tak mampu mengangkat tubuhnya yang setengah membeku dari atas tanah, si penunggang kuda turun dan menolongnya naik ke atas kuda. Si penunggang membawa si orang tua itu bukan hanya ke seberang sungai, tapi terus ke tempat tujuannya, yang hanya berjarak beberapa kilometer.

Selagi mereka mendekati pondok kecil yang nyaman, rasa ingin tahu si penunggang kuda mendorongnya untuk bertanya, ”Pak, saya lihat tadi bapak membiarkan penunggang kuda lain lewat tanpa berusaha meminta tumpangan. Saya ingin tahu kenapa pada malam musim dingin begini bapak mau menunggu dan minta tolong pada penunggang terakhir. Bagaimana kalau saya tadi menolak dan meninggalkan bapak di sana?”

Si orang tua menurunkan tubuhnya perlahan dari kuda, memandang langsung mata si penunggang kuda, dan menjawab, ”Saya sudah lama tinggal di daerah ini. Saya rasa saya cukup kenal dengan orang”. Si orang tua melanjuntukan, ”Saya memandang mata penunggang yang lain, dan langsung tahu bahwa di situ tidak ada perhatian pada keadaan saya. Pasti percuma saja saya minta tumpangan. Tapi waktu saya melihat ke matamu, kebaikan hati dan rasa kasihmu terlihat jelas. Saya tahu saat itu juga bahwa jiwamu yang lembut akan menyambut kesempatan untuk memberi saya pertolongan pada saat saya membutuhkannya”.

Komentar yang menghangatkan hati itu menyentuh si penunggang kuda dengan dalam. ”Saya berterima kasih sekali atas perkataan bapak”, ia berkata pada si orang tua. ”Mudah-mudahan saya tidak akan sibuk mengurus masalah saya sendiri hingga saya gagal menanggapi kebutuhan orang lain dengan kasih dan kebaikan hati saya".

~Cerita Motivasi Islami~

Berita Baik



Suatu ketika Roberto De Vincenzo, seorang pemain golf Argentina yang terkenal itu memenangkan sebuah turnamen golf profesional yang berhadiah uang dalam jumlah besar. Setelah menerima hadiahnya dan penuh senyum di depan kamera para wartawan ia bergegas berjalan menuju club house dan bersiap-siap untuk pulang.

Saat berjalan menuju mobilnya, ia dihampiri oleh seorang wanita dan wanita itu memberikan salam ucapan selamat kepadanya atas kemenangan yang ia raih seraya mengatakan kepadanya bahwa bayinya tengah mengalami sakit keras dan kondisinya sekarat, ”Saya tak tahu harus bagaimana, karena sama sekali tak punya biaya untuk berobat ke dokter” kata wanita itu dengan wajah memelas.

Vincenzo sangat tersentuh melihat wanita malang itu dan segera mengeluarkan cek dan pena untuk menuliskan selembar check dengan nilai yang tidak sedikit untuk diberikan kepada wanita itu. ”Segera bawa anakmu berobat ke rumah sakit, kalau perlu opname dan pastikan dia benar-benar sembuh” kata Vincenzo dengan penuh simpatik. Wanita itu memegang erat tangan Vincenzo dan beberapa kali membungkuk penuh rasa terimakasih sebelum pergi meninggalkan pegolf yang murah hati itu.

Minggu berikutnya dalam suatu acara makan siang di sebuah country club, rekan Vincenso yang juga seorang pejabat asosiasi golf professional mendatangi mejanya dan duduk bersamanya, kemudian bertanya ”Vincenzo, minggu lalu anda memberikan cek kepada seorang wanita?” Vincenzo mengangguk sambil meneguk juice apelnya.

”Seorang tukang parkir yang melihat anda memberikan cek kepada wanita itu mengatakan pada saya bahwa wanita itu telah menipumu kawan, anaknya tidak sedang sakit apalagi sekarat” kata orang itu menjelaskan. Kali ini Vincenzo tediam sejenak dan bertanya serius ”Sungguh? Tidak ada anak yang sekarat?” ”Benar” tegasnya. ”Syukurlah kalau begitu, saya rasa itu adalah berita terbaik yang saya dengar dalam minggu ini” jawab Vincenzo.

~Cerita Motivasi Islami~

Semangkuk Mie



Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya.Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang.

Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.

Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata: “Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?”

“Ya, tetapi, aku tidak membawa uang” jawab Ana dengan malu-malu.

“Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu” jawab si pemilik kedai. “Silakan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu”.

Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi. Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang.

“Ada apa nona?” tanya si pemilik kedai.

“Tidak apa-apa” aku hanya terharu jawab Ana sambil mengeringkan air matanya.

“Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi ! Tetapi… ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi. Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri” katanya kepada pemilik kedai.

Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan Ana, menarik nafas panjang lalu berkata:

“Nona, mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya.”

Ana terhenyak mendengar hal tersebut.

“Mengapa aku tidak berpikir tentang hal itu? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal , aku begitu berterima kasih. Tetapi kepada ibuku yg memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya.

Ana segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yg harus diucapkan kepada ibunya.

Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya berwajah letih dan cemas. Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah

“Ana, kau sudah pulang. Cepat masuklah, Ibu telah menyiapkan makan malam. Makanlah dahulu sebelum kau tidur. Makanan akan dingin jika kau tidak memakannya sekarang”

Pada saat itu Ana tidak dapat menahan tangisnya. Ia pun menangis di pelukan ibunya.

Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain di sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan kepada kita. Tetapi kepada orang yang s angat dekat dengan kita, khususnya orang tua kita, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita.

~Cerita Motivasi Islami~

Tuesday, May 10, 2016

Kapak yang Hilang



Seorang pria kehilangan kampaknja. Dia rnencurgai bahwa kampak tersebut dicuri oleh anak tetangganya, maka dia selalu mengamati si anak dengan cermat setiap hari. Anak itu berjalan seperti pencuri, kelihatan seperti pencuri, dan bicara seperti layaknya pencuri.

Beberapa hari kemudian, orang itu menemukan kapaknya ketika dia sedang menebang pohon di hutan.

Keesokan harinya ketika dia rnelihat anak itu; anak itu berbicara, berjalan dan berpenampilan seperti anak yang Iain, dia tidak kelihatan seperti pencuri lagi.

Moral of the story: Kadang kita bertindak seperti pria yang kehilangan kampaknya?

~Cerita Motivasi Islami~

Nasihat Bijak untuk Anak



Pada suatu hari, di sebuah sekolah menengah. Saat jam istirahat, ada perkelahian antara dua murid laki-laki di kelas. Kerumunan murid pun berakhir saat seorang guru datang menengahi dan melerai mereka. Tidak lama kemudian, saat pelajaran berikutnya akan dimulai, Kepala Sekolah sekolah masuk ke kelas tersebut dan langsung menyampaikan maksud kedatangannya.

”Andika, kamu nanti datang kantor Bapak, jam 3 sore.”Seisi kelas terdiam sedangkan murid yang dimaksud seketika berwajah pucat pasi.

”Baik Pak,” ia menjawab lemah. Habis aku! Pasti akan dimarahi dan dikenai sanksi gara-gara perkelahian tadi, begitu pikir Andika.

Tepat pukul 3 sore, Andika telah ada di depan kantor dan mengetuk pintu ruangan kepala sekolah. Jantungnya berdegup keras dan tubuhnya serasa lunglai.

”Masuk!” terdengar suara dari dalam. Andika pun masuk. Dengan takut-takut, ia berdiri dekat meja kepala sekolah, sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

”Duduklah Andika. Kamu tentu sudah bisa menebak, kenapa Bapak memanggilmu kan? Tentu berkaitan dengan perkelahianmu tadi,” kata kepala sekolah yang diikuti anggukan kepala Andika.

Lanjutnya, ”Andika telah melanggar peraturan tentang tidak boleh berkelahi di dalam lingkungan sekolah, apalagi di kelas. Tetapiada beberapa hal yang ingin bapak sampaikan berkaitan dengan kasusmu ini. Pertama, bapak senang kamu datang tepat waktu, itu menunjukkan kamu adalah anak yang disiplin.” Beliau membuka laci mejanya, mengambil sebuah permen, dan meletakkannya di meja.

”Kedua, bapak menghargai kedatanganmu saat ini. Artinya kamu menghargai bapak sebagai guru dan kepala sekolahmu. Kamu adalah anak yang berjiwa besar dan siap bertanggung jawab. Betul begitu Andika?' Kembali Andika mengiyakan dalam diam. Beliau mengambil permen dan meletakkannya lagi di meja.

”Bapak sudah berbicara dengan guru yang melerai perkelahian dan mendengar dari beberapa temanmu. Kamu berkelahi dengan Rudi karena membela teman perempuan yang dilecehkan olehnya. Benar begitu? Bapak salut. Ini pertanda kamu adalah seorang gentleman, laki-laki sejati. Tapi ingat: berkelahi bukanlah pilihan untuk menyelesaikan masalah. Andika harus lebih bijak dan jelas, bukan dengan berkelahi seperti tadi.” Kepala sekolah meletakkan sebuah permen lagi di atas meja.

”Nah yang terakhir, karakter positif yang telah Andika tunjukkan hari ini harus dipertahankan dan dikembangkan di masa depan. Bapak yakin kamu akan berubah dan akan maju di kemudian hari. Belajar lebih baik Andika, oke?” Sambil tersenyum, beliau menambahkan satu buah permen lagi di meja dan menyodorkan permen-permen tersebut ke arah Andika. ”Ambillah hadiah dan kenang-kenangan dari Bapak ini!”

Andika yang awalnya ketakutan akan mendapat hukuman, dan tidak menyangka justru mendapat ”penghargaan” dari kepala sekolahnya, mengangguk mantap. ”Terima kasih Pak. Saya sangat terkejut. Bapak tidak menghukum saya bahkanmemuji dan menghargai saya. Saya berjanji, pasti berubah dan akan lebih rajin belajar untuk masa depan saya sendiri.”

~Cerita Motivasi Islami~

Kisah Burung Gagak



Pada suatu sore seorang ayah bersama anaknya yang baru saja menamatkan pendidikan tinggi duduk berbincang-bincang di halaman sambil memperhatikan suasana di sekitar mereka. Tiba-tiba seekor burung gagak hinggap di ranting pohon. Si ayah lalu menunjuk ke arah gagak sambil bertanya, ”Nak, burung apakah itu?” ”Burung gagak”, jawab si anak.

Si ayah mengangguk-angguk, namun beberapa saat kemudian mengulangi lagi pertanyaan yang sama. Si anak menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya tadi lalu menjawab dengan sedikit keras, ”Itu burung gagak ayah!”

Tetapi sejenak kemudian si ayah bertanya lagi pertanyaan yang sama. Si anak merasa agak marah dengan pertanyaan yang sama dan diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih keras, ”BURUNG GAGAK!!”

Si ayah terdiam seketika. Namun tidak lama kemudian sekali lagi mengajukan pertanyaan yang sama sehingga membuatkan si anak kehilangan kesabaran dan menjawab dengan nada yang ogah-ogahan menjawab pertanyaan si ayah, ”Gagak ayah.......”.

Tetapi kembali mengejutkan si anak, beberapa saat kemudian si ayah sekali lagi membuka mulut hanya untuk bertanyakan pertanyaan yang sama. Dan kali ini si anak benar-benar kehilangan kesabaran dan menjadi marah.
”Ayah!!! saya tidak mengerti ayah mengerti atau tidak. Tapi sudah lima kali ayah menanyakan pertanyaan tersebut dan sayapun sudah memberikan jawabannya. Apakah yang ayah ingin saya katakan???? Itu burung gagak, burung gagak ayah.....”, kata si anak dengan nada yang begitu marah.

Si ayah kemudian bangkit menuju ke dalam rumah meninggalkan si anak yang terheran-heran. Sebentar kemudian si ayah keluar lagi dengan membawa sesuatu di tangannya. Dia mengulurkan benda itu kepada anaknya yang masih marah dan bertanya-tanya. Ternyata benda tersebut sebuah diari lama.

”Coba kau baca apa yang pernah ayah tulis di dalam diari itu”, pinta si ayah. Si anak taat dan membaca bagian yang berikut..........
”Hari ini aku di halaman bersama anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba seekor gagak hinggap di pohon. Anakku terus menunjuk ke arah gagak dan bertanya, ”Ayah, apakah itu?”. Dan aku menjawab, ”Burung gagak”. Walau bagaimanapun, anakku terus bertanya pertanyaan yang sama dan setiap kali aku menjawab dengan jawaban yang sama. Sampai 25 kali anakku bertanya demikian, dan demi rasa cinta dan sayang aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya. Aku berharap bahwa hal tersebut menjadi suatu pendidikan yang berharga.”

Setelah selesai membaca bagian tersebut si anak mengangkat muka memandang wajah si ayah yang kelihatan sayu. Si ayah dengan perlahan bersuara, ” Hari ini ayah baru menanyakan kepadamu pertanyaan yang sama sebanyak lima kali, dan kau telah kehilangan kesabaran dan marah.”

~Cerita Motivasi Islami~

Karena Ayah



Suatu ketika di sebuah sekolah, diadakan pementasan drama. Pentas drama yang meriah, dengan pemain yang semuanya siswa-siswi disana. Setiap anak mendapat peran, dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang diperankannya. Semuanya tampak serius, sebab Pak Guru akan memberikan hadiah kepada anak yang tampil terbaik dalam pentas. Sementara di depan panggung, semua orangtua murid ikut hadir dan menyemarakkan acara itu.

Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada yang berperan sebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga yang menjadi nelayan, dengan jala yang disampirkan di bahu. Di sudut sana, tampak pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran pak tua yang pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orangtua dan guru kerap terdengar, di sisi kiri dan kanan panggung.

Tibalah kini akhir dari pementasan drama. Dan itu berarti, sudah saatnya Pak Guru mengumumkan siapa yang berhak mendapat hadiah. Setiap anak tampak berdebar dalam hati, berharap mereka terpilih menjadi pemain drama yang terbaik. Dalam komat-kamit mereka berdoa, supaya Pak Guru akan menyebutkan nama mereka, dan mengundang ke atas panggung untuk menerima hadiah. Para orangtua pun ikut berdoa, membayangkan anak mereka menjadi yang terbaik.

Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebutkan sebuah nama. Ahha…ternyata, anak yang menjadi pak tua pemarah lah yang menjadi juara. Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. “Aku menang…”, begitu ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung, diiringi kedua orangtuanya yang tampak bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orangtua menatap sekeliling, menatap ke seluruh hadirin. Mereka bangga.

Pak Guru menyambut mereka. Sebelum menyerahkan hadiah, ia sedikit bertanya kepada sang “jagoan, “Nak, kamu memang hebat. Kamu pantas mendapatkannya. Peranmu sebagai seorang yang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya ya, sehingga kamu bisa tampil sebaik ini? Kamu pasti rajin mengikuti latihan, tak heran jika kamu terpilih menjadi yang terbaik..” tanya Pak Guru, “Coba kamu ceritakan kepada kami semua, apa yang bisa membuat kamu seperti ini..”.

Sang anak menjawab, “Terima kasih atas hadiahnya Pak. Dan sebenarnya saya harus berterima kasih kepada Ayah saya dirumah. Karena, dari Ayah lah saya belajar berteriak dan menjadi pemarah. Kepada Ayah lah saya meniru perilaku ini. Ayah sering berteriak kepada saya, maka, bukan hal yang sulit untuk menjadi pemarah seperti Ayah.” Tampak sang Ayah yang mulai tercenung. Sang anak mulai melanjutkan, “..Ayah membesarkan saya dengan cara seperti ini, jadi peran ini, adalah peran yang mudah buat saya…”

Senyap. Usai bibir anak itu terkatup, keadaan tambah senyap. Begitupun kedua orangtua sang anak di atas panggung, mereka tampak tertunduk. Jika sebelumnnya mereka merasa bangga, kini keadaannya berubah. Seakan, mereka berdiri sebagai terdakwa, di muka pengadilan. Mereka belajar sesuatu hari itu. Ada yang perlu diluruskan dalam perilaku mereka.

~Cerita Motivasi Islami~

Kisah Sufi Kaya dan Sufi Miskin



Suatu saat, seorang guru merekomendasikan kepada muridnya untuk berguru kepada seorang sufi ternama. Setelah melewati perjalanan yang amat panjang, sang Murid akhirnya bisa berjumpa dengan guru yang dimaksud.

Betapa kagetnya setelah ia mengatahui rumahnya yang mewah bak istana raja. Ia bertanya kepada para tetangganya, apakah betul bahwa istana itu tempat tinggal sang Sufi sebagaimana yang direkomendasikan oleh gurunya. Semuanya menjawab “Ya”.

Lebih kaget lagi setelah si pemilik istana itu datang dengan pakaian yang mewah dan kendaraan yang luar biasa bagusnya. Sang murid bertanya-tanya dalam hatinya, apakah benar yang dimaksudkan oleh gurunya. Akan tetapi karena telanjur sudah menempuh perjalanan jauh yang sangat melelahkan, iapun menjumpai Sufi yang kaya raya tersebut. Setelah menyampaikan salam dari gurunya, ia pun menyampaikan maksud dan tujuannya.

Betapa kagetnya sang murid setelah mendengar kata-kata yang keluar dari lisan Sufi yang kaya raya itu. Ia berkata, “Tolong sampaikan salam saya kembali kepada gurumu. Aku berpesan agar dia tidak selalu sibuk dengan urusan dunia.”

Bak disambar petir di siang bolong. Bagaimana mungkin orang kaya raya itu memberi nasehat kepada gurunya yang jauh dari kehidupan dunia agar tidak sibuk dengan urusan dunia. Bukankah yang lebih sibuk mengurus dunia adalah orang kaya tersebut? Ia pamit pulang, tidak jadi berguru kepada orang yang direkomendasikan oleh gurunya.

Sesampai di padepokan gurunya, ia melaporkan semua kejadian yang dialaminya, termasuk nasihat orang kaya itu kepada gurunya. Sang murid lebih tidak mengerti lagi setelah sang guru yang sangat dihormati itu ternyata menangis dan membenarkan nasihat orang kaya raya tersebut.

Sang guru akhirnya menjelaskan bahwa orang kaya raya yang dijumpai oleh muridnya itu memang memiliki istana yang mewah, kendaraan yang bagus, dan selalu berpakaian indah. Tanah perkebunannya luas serta memiliki pabrik yang mempekerjakan banyak karyawan. Namun demikian, harta yang melimpah itu tidak menyebabkannya lalai dan lupa kepada Allah Swt.

Hartanya tidak mengganggu dzikirnya kepada Allah Swt. Ia tidak sombong karena hartanya dan jika sewaktu-waktu hartanya diambil oleh pemiliknya, Allah Swt, ia pun tidak merasa terhina karenanya. Ia memandang harta biasa-biasa saja.

Sementara saya, kata sang Guru, biar tidak punya harta yang melimpah, tapi hari-hari masih disibukkan untuk memikirkan harta. Bahkan bisa jadi saya, kata sang guru, lebih sibuk memikirkan urusan harta dari pada si sufi yang kaya raya tersebut.

Kepada orang yang diberi karunia rizki yang lebih oleh Allah swt, hendaknya mereka dapat mengelola hartanya sebagai sarana untuk mendapatkan harta kekayaan yang lebih besar kelak di akhirat. Tak perlu bersikap kontra produktif dengan meninggalkan kehidupan dunia. Janganlah mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah Swt.

Adapun terhadap orang-orang yang belum mendapatkan rizki lebih dari Allah Swt, hendaklah tetap menjalankan ketaatan kepada Allah Swt dengan tulus dan ikhlas. Nikmati kemiskinan dengan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Akhirnya, tidak ada halangan bagi orang kaya untuk menjadi shalih dan dekat dengan Allah swt. Demikian juga tidak ada alasan bagi orang miskin untuk tidak mendekat kepada Allah karena kemiskinannya. Orang kaya dan orang miskin mempunyai kesempatan yang sama untuk mendekati Allah Swt.

~Cerita Motivasi Islami~

Hadiah dari Ayah



Seorang pemuda sebentar lagi akan diwisuda,sebentar lagi dia akan menjadi seorang sarjana, akhir dari jerih payahnya selama beberapa tahun di bangku pendidikan.

Beberapa bulan yang lalu dia melewati sebuah showroom, dan saat itu dia jatuh cinta kepada sebuah mobil sport, keluaran terbaru dari ford. Selama beberapa bulan dia selalu membayangkan, nanti pada saat wisuda ayahnya pasti akan membelikan mobil itu kepadanya. Dia yakin, karena dia anak satu-
satunya dan ayahnya sangat sayang padanya, sehingga dia yakin banget nanti dia pasti akan mendapatkan mobil itu. Dia pun berangan-angan mengendarai mobil itu, bersenang-senang dengan teman-temannya,
bahkan semua mimpinya itu dia ceritakan keteman-temannya.

Saatnya pun tiba, siang itu, setelah wisuda, dia melangkah pasti ke ayahnya. Sang ayah tersenyum, dan dengan berlinang air mata karena terharu dia mengungkapkan betapa dia bangga akan anaknya, dan betapa dia mencintai anaknya itu. Lalu dia pun mengeluarkan sebuah bingkisan,... Bukan sebuah kunci ! Dengan hati yang hancur sang anak menerima bingkisan itu, dan dengan sangat kecewa dia membukanya. Dan dibalik kertas kado itu ia menemukan sebuah kitab suci yang bersampulkan kulit asli, dikulit itu
terukir indah namanya dengan tinta emas. Pemuda itu menjadi marah, dengan suara yang meninggi dia berteriak, ”yaahh... Ayah memang sangat mencintai saya, dengan semua uang ayah, ayah belikan alkitab ini untukku ? ” lalu dia membanting kitab suci itu dan lari meninggalkan ayahnya. Ayahnya tidak
bisa berkata apa-apa, hatinya hancur, dia berdiri mematung ditonton beribu pasang mata yang hadir saat itu.

Tahun demi tahun berlalu, sang anak telah menjadi seorang yang sukses, dengan bermodalkan otaknya yang cemerlang dia berhasil menjadi seorang yang terpandang. Dia mempunyai rumah yang besar dan mewah, dan dikelilingi istri yang cantik dan anak-anak yang cerdas. Sementara itu ayahnya semakin tua dan tinggal sendiri.

Sejak hari wisuda itu, anaknya pergi meninggalkan dia dan tak pernah menghubungi dia. Dia berharap suatu saat dapat bertemu anaknya itu, hanya untuk meyakinkan dia betapa kasihnya pada anak itu. Sang anak pun kadang rindu dan ingin bertemu dengan sang ayah, tapi mengingat apa yang terjadi pada hari wisudanya, dia menjadi sakit hati dan sangat mendendam.

Sampai suatu hari datang sebuah telegram dari kantor kejaksaan yang memberitakan bahwa ayahnya telah meninggal, dan sebelum ayahnya meninggal, dia mewariskan semua hartanya kepada anak satu-satunya itu. Sang anak disuruh menghadap jaksa wilayah dan bersama-sama ke rumah ayahnya untuk mengurus semua harta peninggalannya.

Saat melangkah masuk ke rumah itu, mendadak hatinya menjadi sangat sedih, mengingat semua kenangan semasa dia tinggal di situ. Dia merasa sangat menyesal telah bersikap jelak terhadap ayahnya. Dengan bayangan-bayangan masa lalu yang menari-nari di matanya, dia menelusuri semua barang dirumah itu. Dan ketika dia membuka brankas ayahnya, dia menemukan kitab suci itu, masih
terbungkus dengan kertas yang sama beberapa tahun yang lalu. Dengan airmata berlinang, dia lalu memungut kitab suci itu, dan mulai membuka halamannya. Di halaman pertama kitab suci itu, dia membaca tulisan tangan ayahnya, ”sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan tuhan maha kaya dari segala apa yang ada di dunia ini”

Selesai dia membaca tulisan itu, sesuatu jatuh dari bagian belakang kitab suci itu. Dia memungutnya,.... Sebuah kunci mobil ! Di gantungan kunci mobil itu tercetak nama dealer, sama dengan dealer mobil sport yang dulu dia idamkan ! Dia membuka halaman terakhir alkitab itu, dan menemukan di situ terselip stnk dan surat-surat lainnya, namanya tercetak di situ. Dan sebuah kwitansi pembelian mobil, tanggalnya tepat sehari sebelum hari wisuda itu. Dia berlari menuju garasi, dan di sana dia menemukan sebuah mobil yang berlapiskan debu selama bertahun-tahun, meskipun mobil itu sudah sangat kotor karena tidak disentuh bertahun-tahun, dia masih mengenal jelas mobil itu, mobil sport yang dia dambakan bertahun-tahun lalu. Dengan buru-buru dia menghapus debu pada jendela mobil dan melongok ke dalam. Bagian dalam mobil itu masih baru, plastik membungkus jok mobil dan setirnya, di atas dashboardnya ada sebuah foto, foto ayahnya, sedang tersenyum bangga.

Mendadak dia menjadi lemas, lalu terduduk di samping mobil itu, air matanya tidak terhentikan, mengalir terus mengiringi rasa menyesalnya yang tak mungkin diobati.

~Cerita Motivasi Islami~

Keajaiban Sedekah



Suatu malam gadis itu sedang makan. Tiba-tiba datanglah seorang pengemis yang berdiri di ambang pintu. Berikan aku sedekah semata-mata karena Allah meskipun hanya sepotong roti. Ucap pengemis itu dengan wajah berseri-seri.

Gadis itu segera beranjak dan menghampirinya. Ia memberikan sepotong roti kepada pengemis itu dengan ikhlas. Senyumnya menandai betapa ia sangat senang memberikan sepotong roti kepada orang yang jauh lebih membutuhkan daripada dirinya. Bersamaan dengan itu, ayahnya yang kikir baru saja datang dari bekerja. Rupanya sang ayah mengetahui perbuatan ankanya yang dianggap sangat keterlaluan. Ia melotot dan memarahi anak gadisnya.

Setelah memarahi habis-habisan, dengan emosi yang tak terkontrol, sang ayah kemudian bergegas pergi ke dapur dan mendapatkan pisau yang tajam. Sebentar saja pisau itu sudah sampai di hadapan anaknya. Dipegangnya tangan kanan anak itu dan dengan serta merta pergelangannya dipotong. Sang ayah rupanya tak mau peduli apakah anaknya akan cacat atau tidak.

Tak lama kemudian usaha orang kaya itu bangkrut. Semakin lama semakin menurun dan akhirnya benar-benar menjadi orang miskin. Hutangnya menjadi banyak dan membebani pikirannya sepanjang hari dan malam. Bekas orang kaya itu jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beberapa waktu setelah itu, istrinya pun meninggal dunia pula.

Kini gadis itu menjadi sebatang kara. Sementara itu, perekonomian di negeri kembali pulih. Orang-orang yang sebelumnya miskin kini menjadi makmur. Dan gadis itu terpaksa menjadi pengemis demi menopang kebutuhan hidupnya.

Suatu ketika ia berdiri di depan rumah bagus dan mewah. Ia berharap pemilik rumah kaya itu memberi sepotong roti atau apa saja yang dapat dimakan untuk mengganjal perutnya.

Sesaat kemudian keluarlah seorang wanita setengah baya dan menghampiri gadis tersebut. Ia memandangi gadis itu dengan penuh simpati. Akhirnya, gadis itu kemudian diambil anak angkat. Wanita pemilik rumah mewah itu diam-diam mempunyai rencana untuk menjodohkannya dengan anak lelakinya yang pergi merantau ke negeri orang dan tak kunjung mengirimkan kabar.

Setelah anaknya pulang, segeralah gadis itu dikawinkan dengannya. Mereka menggelar pesta meriah dan mengundang kenalannya yang rata-rata orang kaya dan pejabat di negeri itu.

Di tengah pesta perkawinan yang digelar, sang pengantin laki-laki merasa kurang senang melihat ulah istrinya yang dianggap kurang sopan, karena makan dengan tangan kiri. Pengantin laki-laki berusaha menegurnya. Tetapi pengantin wanita itu tetap merasa sulit karena selama ini ia menyembunyikan cacat tangannya sehingga tak seorang pun tahu.

Tiba-tiba terdengar suara dari luar, Keluarkanlah tangan kananmu. Sungguh, engkau pernah bersedekah sepotong roti dengan ikhlas karena Allah. Maka tanganmu sempurna kembali seperti semula!

Mendengar suara tersebut, terpaksa pengantin wanita mengeluarkan tangan kanannya. Terjadilah suatu keajaiban: telapak tangannya yang terputus itu berubah seperti sediakala. Pengantin wanita itu sangat heran melihat kejadian yang sangat menakjubkan itu.

Itulah keberuntungan orang yang ikhlas bersedekah, walau hanya sebatas roti. Sungguh balasan Allah jauh lebih besar dari apa yang kita bayangkan. Kedermawanan seorang gadis dalam kisah di atas menunjukkan bahwa sedekah merupakan wujud dari kepedulian sosial yang penting dikedepankan.

~Cerita Motivasi Islami~

Pemalas



Di sebuah desa di tanah Arab, ada salah satu keluarga yang hidupnya serba kekurangan. Kepala keluarga ini sebut saja namanya Abbad. Ia mempunyai seorang istri dan 2 anak yang masih kecil. Abbad di desanya terkenal sebagai orang yang malas bekerja. Untuk menyambung hidup, tidak jarang istrinya diperintahkan untuk mencari uang.
 
Pada suatu hari, Imam Abu Hanifah sedang berjalan-jalan untuk melakukan perjalanan jauh sambil berdakwah. Ketika sampai di depan rumah Abbad, Imam Abu Hanifah mendengar suara orang yang mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Dan kebetulan kala itu Abbad sedang mengadu dengan suara agak keras.
 
”Alangkah malangnya nasibku ini, agaknya tiada seorang pun yang lebih malang dari nasibku ini. Sejak dari pagi aku dan keluargaku belum makan, sehingga seluruh badanku menjadi lemah. Mudah-mudahan saja ada orang yang mendengar rintihanku dan memberi sedekah,” keluh Abbad.
 
Imam Abu Hanifah pun tersentuh dengan rinihan itu. Ia memutuskan pulang kembali ke rumah. Abu Hanifah mengambil uang, makana serta selembar surat lantas membungkusnya dengan kertas. Bungkusan itu hendak diberikan kepada Abbad.
 
Setelah sampai di rumah orang fakir miskin itu, Abu Hanifah langsung melemparkan bungkusan yang dibawanya. ”Mudah-mudahan dengan bantuan ini, dia sudah tidak menderita lagi,” ujar Abu Hanifah dengan suara pelan.
 
Setelah dekat dengan jendela rumah Abbad, bungkusan dilempar, kemudian Abu Hanifah meneruskan perjalanan. Mendapat bungkusan secara tiba-tiba itu, tentu saja membuat Abbad terkejut. Setelah dibuka, ternyata bungkusan itu berisi uang, makanan serta secarik kertas.
Kertas itu bertuliskan,
”Wahai manusia, sesungguhnya tidak wajar kamu mengeluh sedemikian itu. Kamu tidak perlu mengeluhkan nasibmu. Inghatlah kepada kemurahan Allah, dan cobalah bermohon kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, wahai kawan, tetapi berusahalah terus.”
 
Beberapa hari kemudian, Imam Abu Hanifah ingin meneruskan perjalanan lagi sambil berdakwah. Untuk itulah dia ingin berjalan melewati rumah Abbad.  Abu Hanifah berfikir, siapa tahu setelah diberi tulisan itu Abbad akan sadar. Akan tetapi harapan Imam Abu Hanifah ternyata gagal, karena ia masih mendengar suara keluhan itu lagi dari dalam rumah Abbad.
 
”Astaghfirullah...orang ini ternyata tidak mau sadar juga dengan tulisan yang saya berikan,” tutur Abu Hanifah dalam hati. Imam Abu Hanifah berhenti lagi, lalu mendengar suara rintahan lagi dari Abbad,
”Ya Allah, ya Tuhan Yanga Maha Belas Kasih dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekedar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Allah tidak memberi akan lebih sengsaralah hidupku.”
 
Mendengar keluhan itu lagi, Imam Abu Hanifah tidak melanjutkan perjalanan. Ia kembali pulang ke rumahnya kemudian ia membuat bungkusan seperti yang pertama, ada uang, makanan dan surat untuk diberikan kepada Abbad.
 
Setelah dekat dengan jendela rumah Abbad, Imam Abu Hanifah melempar bungkusan lagi, kemudian Abu Hanifah melanjutkan perjalanannya.
 
Mendapat bungkusan lagi, Abbad senang bukan kepalang. Lantas bungkusan itu dibukanya dan seperti yang pertama, tetap ada secarik kertas. Surat itu dibacanya,
”Wahai kawan, bukan begitu caramu memohon. Bukan demikian cara berikhtiar dan berusaha, perbuatan demikian namanya malas. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh Allah tidak ridha melihat orang yang pemalas dan putus asa, tidak mau bekerja untuk keselamatan dirinya.”
 
Abbad berhenti sejenak membaca surat itu sambil merenungi isi suratnya.Kemudian ia membacanya lagi.
”Kawan, jangan berbuat demikian.Hendaknya kamu bekerja yang halal meski gajinya sedikit. Dan bekerjalah dengan suka rela dan berusahalah jangan berdiam diri di rumah. Rezeki Allah tidak bisa datang dengan sendirinya, tapi harus dicari. Orang hidup tidak disuruh untuk duduk diam saja, tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan memperkenankan permohonan orang yang malas bekerja.”
 
Abbad berhenti lagi sejenak dan berfikir tentang isi surat itu. Ia mengambil nafas lalu meneruskan membaca surat itu. ”Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Oleh sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah dengan segera. Insya Allah, akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus asa. Carilah segera pekerjaan, saya doakan semoga lekas berjaya.”
 
Setelah membaca surat itu, Abbad termenung, sesaat kemudian dia insyaf dan sadar akan perbuatannya selama ini.
 
Pada keesokan harinya dia pun keluar rumah untuk mencari pekerjaan.
 
Sejak dari hari itu, sikapnya pun berubah total, dia mengikuti sunnah Allah dan ia tidak pernah melupakan nasehat dari surat yang ia baca.  Tak berapa lama kemudian ia sudah mendapat pekerjaan meski gajinya hanya sedikit. Ia mulai giat bekerja untuk menghidupi keluarganya.

~Cerita Motivasi Islami~

Kisah Indah Buah dari Keikhlasan



Sebuah kisah dari keikhlasan seseorang dalam mengembalikan hak orang lain tanpa meminta imbalan yang berbuah kebahagiaan, semoga kita bisa memetik hikmah dan pelajaran yang terkandung dalam kisah teladan ini

Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi bin Muhammad Al-Bazzar al-Anshari berkata,

“Dulu, aku pernah berada di Makah–semoga Allah selalu menjaganya. Suatu hari aku merasakan lapar yang sangat. Aku tidak mendapatkan sesuatu yang dapat menghilangkan laparku. Tiba-tiba aku menemukan sebuah kantong dari sutera dan diikat dengan kaos kaki yang terbuat dari sutera pula. Ketika aku buka, aku dapatkan di dalamnya sebuah kalung permata yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.”

“Kemudian, aku keluar rumah, dan saat itu ada seorang bapak tua yang berteriak mencari kantongnya yang hilang sambil memegang kantong kain yang berisi uang lima ratus dinar. Dia mengatakan, ‘Ini adalah bagi orang yang mau mengembalikan kantong sutera yang berisi permata.’ Aku berkata kepada diriku, ‘Aku sedang membutuhkan, aku ini sedang lapar. Aku bisa mengambil uang dinar  emas itu untuk aku manfaatkan dan mengembalikan kantong sutera ini kepadanya.’ Maka, aku membawa orang itu ke rumahku.

Setibanya di rumah, aku meminta kepadanya untuk menjelaskan ciri-ciri kantong yang hilang tersebut untuk meyakinkanku, dan dia menceritakan kepadaku ciri kantong sutera itu, ciri-ciri kaos kaki pengikatnya, cirri-ciri permata dan jumlahnya, berikut benang yang mengikatnya.

Yang disebutkannya persis seperti kantong yang aku temukan, maka aku segera mengeluarkan dan memberikan kantong itu kepadanya, dan dia pun memberikan untukku lima ratus dinar, tetapi aku tidak mau mengambilnya.

Aku katakan kepadanya,

“ Memang seharusnya aku mengembalikannya kepadamu tanpa mengambil upah untuk itu.”

Ternyata dia bersikeras, ‘Kau harus mau menerimanya,’ sambil memaksaku terus-menerus. Aku tetap pada pendirianku, untuk tidak menerima uang imbalan tersebut. Akhirnya, bapak tua itu pun pergi meninggalkanku.”

“Adapun aku, beberapa waktu setelah kejadian itu, aku keluar dari kota Mekah dan berlayar dengan perahu. Di tengah laut perahu tumpangan itu pecah, orang-orang semua tenggelam dengan harta benda mereka. Tetapi aku selamat dengan menumpang potongan papan dari pecahan perahu itu. Untuk beberapa waktu aku tetap berada di laut, tak tahu ke mana hendak pergi.”

“Akhirnya aku tiba di sebuah pulau yang berpenduduk. Aku duduk di dalam salah satu masjid mereka, sambil membaca ayat-ayat Alquran.

Ketika mereka tahu bagaimana aku membacanya, tidak seorang pun dari penduduk pulau tersebut kecuali dia datang kepadaku dan mengatakan, ‘Ajarkanlah Alquran kepadaku.’

Kemudian aku penuhi permintaan mereka. Dari mereka aku mendapat harta yang banyak. Di dalam masjid aku menemukan bebarapa lembar mushaf, aku mengambil dan mulai membacanya. Lalu mereka bertanya, ‘Kau bisa menulis?’ ‘Ya’. Mereka berkata, ‘Kalau begitu, ajarilah kami menulis.’ Mereka pun datang dengan anak-anak dan para remaja mereka. Aku ajari mereka tulis-menulis. Dari itu, aku juga mendapat banyak uang.

Setelah itu mereka berkata, ‘Kami mempunyai seorang putri yatim, dia mempunyai harta yang cukup. Maukah kau menikahinya?’ Aku menolak. Tetapi, mereka terus mendesak, “Tidak bisa, kau harus mau” itulah kata mereka memaksaku, Akhirnya aku menuruti keinginan mereka juga.”

“Ketika mereka membawa anak perempuan itu ke hadapanku, aku pandangi dia. Tiba-tiba aku melihat kalung permata yang dulu pernah aku temukan di Mekah melingkar di lehernya. Tidak ada yang aku lakukan saat itu, kecuali hanya terus memperhatikan kalung permata itu.

Mereka berkata, ‘Sungguh kau telah menghancurkan hati perempuan yatim ini. Kau hanya memperhatikan kalung itu dan tidak memperhatikan orangnya.’

Maka, saya ceritakan kepada mereka kisah saya dengan kalung tersebut. Setelah mereka tahu, mereka meneriakkan tahlil dan takbir hingga terdengar oleh penduduk setempat. ‘Ada apa dengan kalian?’ kataku bertanya.

Mereka menjawab, ‘Tahukah engkau, bahwa orang tua yang mengambil kalung itu darimu saat itu adalah ayah anak perempuan ini.’ Dia pernah mengatakan, ‘Aku tidak pernah mendapatkan seorang muslim di dunia ini (sebaik) orang yang telah mengembalikan kalung ini kepadaku.’ Dia juga berdoa, ‘Ya Allah, pertemukanlah aku dengan orang itu hingga aku dapat menikahkannya dengan puteriku.’ Dan, sekarang sudah menjadi kenyataan.”

Meskipun anak perempuan itu telah yatim, namun doa sang ayah terkabul karena akhirnya merekapun menikah dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengabulkan doa sang ayah pemilik kalung tersebut.

Subahanallah 3 X,

Allahu Akbar 3 X.

~Cerita Motivasi Islami~

Belajar dari Sebuah Pensil



Seorang anak bertanya kepada neneknya yang sedang menulis sebuah surat.
“Nenek lagi menulis tentang pengalaman kita ya? atau tentang aku?”

Mendengar pertanyaan si cucu, sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya,
“Sebenarnya nenek sedang menulis tentang kamu, tapi ada yang lebih penting dari isi tulisan ini yaitu pensil yang nenek pakai. Nenek harap kamu bakal seperti pensil ini ketika kamu besar nanti”, ujar si nenek lagi.Mendengar jawaban ini, si cucu kemudian melihat pensilnya dan bertanya kembali kepada si nenek ketika dia melihat tidak ada yang istimewa dari pensil yang nenek pakai.

“Tapi nek, sepertinya pensil itu sama saja dengan pensil yang lainnya”, Ujar si cucu.

Si nenek kemudian menjawab,

“Itu semua tergantung bagaimana kamu melihat pensil ini. Pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup, kalau kamu selalu memegang prinsip-prinsip itu di dalam hidup ini”,

Si nenek kemudian menjelaskan 5 kualitas dari sebuah pensil.

pertama:

pensil mengingatkan kamu kalau kamu bisa berbuat hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kamu jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkah kamu dalam hidup ini. Kita menyebutnya Allah, Dia akan selalu membimbing kita menurut kehendakNya”.

Pensil dituntun oleh tangan,
Jadikan penuntun Kita adalah Allah Swt

kedua:

dalam proses menulis, nenek kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil nenek. Rautan ini pasti akan membuat si pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini kamu harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik”.

ketiga:

Pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar”.

Penghapus selalu membenarkan kata kata kita dengan menghapus tulisan yg salah.
Kita juga harus mendengar nasehat orang lain apabila kita salah dan segera introspeksi diri.

keempat:
bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu”.
Dalam hal ini yg ada dalam diri kita adalah hati dan nafsu, akal dan fikiran dan semua yg berasal dari dalam diri kita. Harus selalu kita kendalikan.

kelima:
sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan…
Seperti juga kamu, kamu harus sadar kalau apapun yang kamu perbuat dalam hidup ini akan tinggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah hati-hati dan sadar terhadap semua tindakan”

kita pun demikian , apa yang kita perbuat akan meninggalkan goresan baik atau buruk yang nantinya akan di hisab,
maka berhati hatilah akan setiap goresan yg kita perbuat.

~Cerita Motivasi Islami~

Seorang Ayah Bertaubat



Seorang penduduk Madinah berusia 37 tahun, telah menikah, dan mempunyai beberapa orang anak. Ia termasuk orang yang suka lalai, dan sering berbuat dosa besar, jarang menjalankan shalat, kecuali sewaktu-waktu saja, atau karena tidak enak dilihat orang lain.

Penyebabnya, tidak lain karena ia bergaul akrab dengan orang-orang jahat dan para dukun. Tanpa ia sadari, syetan setia menemaninya dalam banyak kesempatan.

Ia bercerita mengisahkan tentang riwayat hidupnya:

“Saya memiliki anak laki-laki berusia 7 tahun, bernama Marwan. Ia bisu dan tuli. Ia dididik ibunya, perempuan shalihah dan kuat imannya.

Suatu hari setelah adzan maghrib saya berada di rumah bersama anak saya, Marwan. Saat saya sedang merencanakan di mana berkumpul bersama teman-teman nanti malam, tiba-tiba, saya dikejutkan oleh anak saya. Marwan mengajak saya bicara dengan bahasa isyarat yang artinya, ”Mengapa engkau tidak shalat wahai Abi?”

Kemudian ia menunjukkan tangannya ke atas, artinya ia mengatakan bahwa Allah yang di langit melihatmu.

Terkadang, anak saya melihat saya sedang berbuat dosa, maka saya kagum kepadanya yang menakut-nakuti saya dengan ancaman Allah.

Anak saya lalu menangis di depan saya, maka saya berusaha untuk merangkulnya, tapi ia lari dariku.

Tak berapa lama, ia pergi ke kamar mandi untuk berwudhu, meskipun belum sempurna wudhunya, tapi ia belajar dari ibunya yang juga hafal Al-Quran. Ia selalu menasihati saya tapi belum juga membawa faidah.

Kemudian Marwan yang bisu dan tuli itu masuk lagi menemui saya dan memberi isyarat agar saya menunggu sebentar… lalu ia shalat maghrib di hadapan saya.

Setelah selesai, ia bangkit dan mengambil mushaf Al-Quran, membukanya dengan cepat, dan menunjukkan jarinya ke sebuah ayat (yang artinya):

”Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Allah Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaithan” (Maryam: 45)

Kemudian, ia menangis dengan kerasnya. Saya pun ikut menangis bersamanya. Anak saya ini yang mengusap air mata saya.

Kemudian ia mencium kepala dan tangan saya, setalah itu berbicara kepadaku dengan bahasa isyarat yang artinya, ”Shalatlah wahai ayahku sebelum ayah ditanam dalam kubur dan sebelum datangnya adzab!”

Demi Allah, saat itu saya merasakan suatu ketakutan yang luar biasa. Segera saya nyalakan semua lampu rumah. Anak saya Marwan mengikutiku dari ruangan satu ke ruangan lain sambil memperhatikan saya dengan aneh.

Kemudian, ia berkata kepadaku (dengan bahasa isyarat), ”Tinggalkan urusan lampu, mari kita ke Masjid Besar (Masjid Nabawi).”

Saya katakan kepadanya, ”Biar kita ke masjid dekat rumah saja.”

Tetapi anak saya bersikeras meminta saya mengantarkannya ke Masjid Nabawi.

Akhirnya, saya mengalah kami berangkat ke Masjid Nabawi dalam keadaan takut… Dan Marwan selalu memandang saya.

Kami masuk menuju Raudhah. Saat itu Raudhah penuh dengan manusia, tidak lama datang waktu iqamat untuk shalat isya, saat itu imam masjid membaca firman Allah (yang artinya),

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan munkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” (An-Nuur: 21)

Saya tidak kuat menahan tangis. Marwan yang berada disampingku melihat aku menangis, ia ikut menangis pula. Saat shalat ia mengeluarkan tissue dari sakuku dan mengusap air mataku dengannya.

Selesai shalat, aku masih menangis dan ia terus mengusap air mataku. Sejam lamanya aku duduk, sampai anakku mengatakan kepadaku dengan bahasa isyarat, ”Sudahlah wahai Abi!”

Rupanya ia cemas karena kerasnya tangisanku. Saya katakan, ”Kamu jangan cemas.”

Akhirnya, kami pulang ke rumah. Malam itu begitu istimewa, karena aku merasa baru terlahir kembali ke dunia.

Istri dan anak-anakku menemui kami. Mereka juga menangis, padahal mereka tidak tahu apa yang terjadi.

Marwan berkata tadi Abi pergi shalat di Masjid Nabawi. Istriku senang mendapat berita tersebut dari Marwan yang merupakan buah dari didikannya yang baik.

Saya ceritakan kepadanya apa yang terjadi antara saya dengan Marwan. Saya katakan, “Saya bertanya kepadamu dengan menyebut nama Allah, apakah kamu yang mengajarkannya untuk membuka mushaf Al-Quran dan menunjukkannya kepada saya?”

Dia bersumpah dengan nama Allah sebanyak tiga kali bahwa ia tidak mengajarinya. Kemudian ia berkata, “Bersyukurlah kepada Allah atas hidayah ini.”

Malam itu adalah malam yang terindah dalam hidup saya. Sekarang Alhamdulillah- saya selalu shalat berjamaah di masjid dan telah meninggalkan teman-teman yang buruk semuanya. Saya merasakan manisnya iman dan merasakan kebahagiaan dalam hidup, suasana dalam rumah tangga harmonis penuh dengan cinta, dan kasih sayang.

Khususnya kepada Marwan saya sangat cinta kepadanya karena telah berjasa menjadi penyebab saya mendapatkan hidayah Allah.”

~Cerita Motivasi Islami~